Takdir Ada 2 Macam.
بسم الله الرØمن الرØيم
Al-Qadarul Mutsbat & Al-Qadarul Mu’allaq
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).†(Ar-Ra’ad, QS 13: 39)
Sebagian orang ada yang bertanya-tanya, jika rizki telah dituliskan (tidak bertambah dan tidak berkurang) dan ajal telah ditentukan (tidak dapat dimajukan dan dimundurkan), lalu bagaimana halnya dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim!†(Muttafaq ‘alaih).
Jawabannya adalah, bahwa qadar itu ada dua macam yaitu:
1. Al-Qadarul Mutsbat (qadar yang telah tetap dan pasti).
Yaitu apa yang telah tertulis dalam Ummul-Kitab (al-Lauhul Mahfuzh). Qadar ini tetap, tidak berubah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan para makhluk 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi…†(HR. Muslim, VIII/51)
2. Al-Qadarul Mu’allaq atau Muqayyad (qadar yang tergantung atau terikat).
Yaitu, apa yang tertulis dalam catatan-catatan Malaikat, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagia(nya)…†(HR. Bukhari, No. 3208; Muslim, No. 2643; Ibnu Majah, No. 76. Lafazhnya adalah dari riwayat Muslim). Maka inilah yang bisa dihapuskan dan ditetapkan.
Ajal, rizki, umur, dan selainnya yang ditetapkan dalam Ummul-Kitab, tidak berubah. Adapun dalam lembaran-lembaran yang ada pada tangan Malaikat, maka bisa dihapuskan, ditetapkan, ditambah, dan dikurangi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Ajal (umur) itu ada dua: ajal mutlak yang (hanya) diketahui oleh Allah, dan ajal yang terikat. Dengan ini menjadi jelaslah makna sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim!â€
Allah memerintahkan Malaikat untuk mencatat ajal untuknya seraya mengatakan: “Jika ia menyambung tali silaturahim, maka Aku menambahkan kepadanya demikian dan demikian.†Sedangkan Malaikat tidak tahu apakah bertambah atau tidak. Tetapi Allah mengetahui perkara yang sebenarnya. Jika ajal telah datang, maka tidak dicepatkannya dan tidak diakhirkan. (Majmuu’ul Fataawaa, VIII/517)
Rizki itu dua macam: salah satunya, apa yang diketahui oleh Allah bahwa Dia memberi rizki kepadanya, maka hal ini tidak berubah. Kedua, apa yang dituliskan dan diberitahukannya kepada para Malaikat, maka hal ini bertambah dan berkurang, menurut sebab-sebabnya. (Ibid.)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
Seperti dikatakan kepada Malaikat, misalnya: “Umur fulan seratus tahun jika menyambung tali silaturahim, dan enam puluh tahun jika memutuskannya.†Tetapi telah diketahui oleh Allah sebelumnya bahwa ia akan menyambung atau memutuskannya. Apa yang ada dalam ilmu Allah, maka tidak dimajukan dan tidak ditunda, sedangkan yang ada dalam ilmu Malaikat, maka itulah yang memiliki kemungkinan bertambah dan berkurang. Inilah yang dinyatakan lewat firman-Nya:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).†(Ar-Ra’ad, QS 13: 39)
Maka penghapusan dan penetapan itu adalah berhubungan dengan apa yang ada dalam ilmu Malaikat, sedangkan yang tertulis dalam Ummul-Kitab, yaitu yang berada dalam ilmu Allah Ta’ala, maka tidak ada penghapusan sama sekali. Untuk qadha’ ini dinyatakan dengan qadha’ yang bersifat tetap, sedangkan untuk yang disebutkan sebelumnya dinyatakan dengan qadha’ yang tergantung. (Fathul Baari, X/430; Syarh Shahiih Muslim, an-Nawawi, XVI/114; Ifaadah al-Khabar bin Nashshihi fii Ziyaadatil ‘Umr wa Naqshihi, as-Suyuti)
Kemudian, sebab-sebab yang dengannya rizki akan diperoleh merupakan bagian dari apa yang ditakdirkan Allah dan dituliskan-Nya. Jika telah ditentukan sebelumnya, bahwa hamba akan diberi rizki dengan usahanya, maka Allah mengilhamkan kepadanya untuk berusaha. Maka, rizki yang Dia takdirkan untuknya dengan berusaha, tidak akan diperoleh dengan tanpa berusaha. Sedangkan rizki yang Dia takdirkan untuknya dengan tanpa usaha, seperti kematian orang yang diwarisinya, maka ia (rizki tersebut) akan datang kepadanya dengan tanpa usaha. (Majmuu’ul Fataawaa, VIII/540-541)
Adapun dalam hal mencari rizki tetapi dengan cara yang tidak halal, maka tidak boleh dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Telah terdapat keterangan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyanjung Rabb-nya dengan mensucikan-Nya dari keburukkan, dalam ucapan beliau : “…Aku penuhi panggilan-Mu dengan senang hati, kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu, dan keburukkan tidaklah dinisbatkan kepada-Mu. Aku berlindung dan bersandar kepada-Mu, Mahasuci Engkau dan Mahatinggi…†(HR. Muslim, No. 771).
Sesungguhnya, ketika Nabi Adam ‘alaihissalam melakukan dosa, maka ia bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan Iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan mengusirnya. Barangsiapa yang bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam ‘alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta berdalih dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat Iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, Iblis. (Ibid, VIII/64)
Berkaitan dengan hal tersebut, penting kita perhatikan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: “Tidak satu jiwapun yang bernapas melainkan Allah telah menentukan tempatnya baik di surga atau neraka, dan juga telah dituliskan celaka atau bahagianya.†(HR. Bukhari â€" Muslim). “…maka ahli surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli surga dan ahli neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli neraka.†(HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Berdasarkan kedua hadits tersebut, maka layak bagi kita untuk segera bermuhasabah (introspeksi) atas diri kita masing-masing, apakah hati kita telah merasa ringan untuk melaksanakan amalan ahli surga, atau justru sebaliknya, merasa ringan untuk melakukan amalan ahli neraka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang senantiasa berjuang untuk melakukan amalan ahli surga. Allahul Musta’an.
Salah satu di antara sebab-sebab lain yang dapat merubah takdir yang telah dicatat oleh Malaikat, adalah do’a. Do’a merupakan perkara yang agung dan mulia, sebab ia dapat menolak takdir dan menghilangkan petaka. Ia bermanfaat terhadap apa yang sudah datang dan apa yang belum datang. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “…Tidak ada yang dapat menolak takdir, kecuali do’a…†(Diriwayatkan oleh Ahmad, V/277; Ibnu Majah, No. 90; at-Tirmidzi, No. 139; dihasankan oleh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’, No. 7687, dan ash-Shahiihah, No. 154).
Namun demikian, karena do’a adalah perkara yang agung dan mulia, maka hendaknya setiap orang yang berdo’a mengetahui Adab dan Sebab Terkabulnya Do’a, sehingga tahu kapan dan bagaimana berdo’a yang sesuai dengan sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar