Jumat, 29 Januari 2010

Bisnis Angkringan

Angkringan Ki Asem, Menggeliat Saat Yang Lain Terlelap 


Konsep angkringan yang biasa dijumpai di kota Solo dan Yogya telah dimodifikasi menjadi semi resto meskipun tetap memilih lokasi di pinggiran jalan. Angkringan milik Agus Semedi tersebut, kini bahkan punya sembilan cabang dengan pelanggan beragam dari masyarakat biasa hingga kalangan selebritis. Wiyono

Saat malam beranjak larut, tiba-tiba perut terasa lapar atau ingin mencari jajanan buat sekedar pengganjal perut? Bagi yang pernah tinggal di Yogya, Solo atau Semarang kejadian seperti itu bukan problem serius. Datang saja ke angkringan, maka semuanya bakal tuntas teratasi. Angkringan (di Solo lebih terkenal dengan istilah hik) adalah semacam tempat berjualan makanan berwujud seperti sebuah gerobak dorong yang berisi penuh makanan atau jajanan. Tempat berjualan yang beroperasi dari sore hingga dinihari itu berada di hampir setiap ruas jalan dan gang. 

Terdapat menu utama yang khas, disebut nasi kucing. Ciri khas lain, biasanya penerangan cukup menggunakan lampu minyak serta memanfaatkan temaram lampu-lampu jalanan. Saking populernya, komunitas angkringan terdiri dari lintas kalangan. Sebab meski terkesan kelas pinggiran, pada kenyataannya konsumen yang datang cukup beragam mulai dari para tukang becak, pelajar, mahasiswa, budayawan, karyawan, bahkan eksekutif hingga pejabat.

Belakangan, budaya nongkrong sambil ditemani hidangan model angkringan, tampaknya mulai merebak ke kota-kota lain. Di Jakarta misalnya, Anda mungkin pernah menjumpainya di beberapa tempat. Begitu juga di Bekasi, salah satunya Angkringan Ki Asem (AKA). Angkringan ini sudah beroperasi kurang dalam dua tahun dan telah berkembang menjadi sembilan cabang. 

Bisnis kuliner tersebut didirikan oleh tiga bersaudara. Nama Ki Asem diambil dari nama salah satu pemiliknya yang tertua, yakni singkatan dari Agus Semedi. "Kita suka nongkrong malam, main kartu, ronda. Tetapi ternyata di Bekasi terutama malam-malam, susah cari tempat makanan siap saji yang buka 24 jam. Sementara kalau di Solo, yang kita tuju nasi kucing yang murah-meriah," tutur Sartono, salah seorang pemilik yang mengelola outlet pertama mereka di Komplek Titian Kencana, Bekasi.

Maka, timbullah ide untuk membawa konsep tersebut ke Bekasi. Memang tidak sepenuhnya sama. Karena sekalipun tetap menyandang kata angkringan, AKA telah dimodifikasi menjadi semi resto meski lokasinya tetap berada di pinggir jalan. Di sini pembeli punya tiga pilihan, pesan makanan untuk dibawa pulang, dinikmati sambil duduk berjajar di bangku panjang di depan gerobak dagangan, atau jika ingin merasa lebih nyaman juga telah disediakan beberapa buah meja berkaki rendah. Pembeli boleh makan sambil lesehan atau duduk selonjoran. Bila suka, mereka juga dipersilakan nongkrong hingga berjam-jam atau menunggu sampai tutup sekalian, tanpa takut diusir atau dimarahi pelayan. 

"Kadang di Jakarta, kita duduk agak lama sudah diusir-usir karena tempatnya buat pembeli yang lain. Kalau di sini bebas, mau tiduran juga bisa. Sedangkan kita buka dari jam 3 sore sampai 3 dini hari," tandas pria kelahiran Sukoharjo 36 tahun lalu yang saat ini masih bekerja di sebuah perusahaan otomotif tersebut.

Mirip dengan angkringan pada umumnya, terdapat beragam menu-menu nasi bungkus lengkap, seperti nasi kucing, nasi teri, nasi orek tempe, nasi ayam, serta bakmi. Jajanan pelengkapnya sate usus, sate kikil, sate ampela, sate telur puyuh, goreng-gorengan, tahu bacem, sosis, pisang goreng, pisang owol, dan lain sebagainya, ditambah beragam minuman ringan. Selain teh, kopi, atau es jeruk, minuman yang paling populer adalah susu jahe. Murah-meriah, karena harga makanannya hanya berkisar Rp750-Rp1.500.

Ulasan selengkapnya dapat dibaca di Majalah Pengusaha edisi 99/Oktober 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar