Kamis, 04 Februari 2010

Kaya dan Miskin Adalah Pilihan ANda


Benarkah menjadi miskin adalah sebuah takdir? Bahkan ada yang mengatakan, kalau memang garis tangan seseorang sudah miskin sampai kapan pun akan tetap miskin, seberapa gigih apapun orang terus bekerja keras untuk melepasnya. 

Kita bisa melihat banyak fakta di lapangan, tentang kondisi ini, yang bisa dijadikan pembenar bagi sebagian orang bahwa kemiskinan adalah sebuah takdir. Kita tidak perlu melihat kondisi seseorang miskin karena kemalasannya. Dan bagi saya keadaan miskin karena faktor kemalasan prosentasenya tidak signifikan di negeri ini. Saya lebih ingin melihat kondisi miskin yang dialami seseorang, meskipun kerja keras telah dilakukan orang tersebut dalam menjalani hidupnya. Suka bekerja keras tetapi tetap miskin, itu yang menjadi poin utamanya.

Kita bersyukur, akhir-akhir ini banyak stasiun televisi yang mau mengangkat berita tentang kehidupan saudara-saudara kita yang tergolong berada di bawah garis kemiskinan ini, meski sisi komersialitasnya tetap menjadi poin utama. Kita bisa menyaksikan banyak program televisi yang memotret sisi kehidupan mereka, misalnya Andai Aku Menjadi, Tukar Nasib, Tangan Di Atas, dan sederet program menyentuh lainnya. Entah seratus persen benar atau tidak, atau mungkin sedikit banyak telah dibumbui agar terlihat lebih menarik, program-program televisi ini bisa kita jadikan sedikit acuan untuk melihat bahwa kerja keras telah menjadi budaya rakyat kita, meski kemiskinan tetap mendera mereka.

Di satu sisi banyak saudara kita yang tetap miskin meskipun kerja keras sudah mereka lakukan, di sini lain tak sedikit saudara kita yang dengan kerja kerasnya mampu mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Atau dengan kata lain, kerja keras mengantarnya kepada kesuksesan.

Banyak pengalaman hidup telah terekam dengan baik, di mana kerja keras tanpa kenal lelah pada akhirnya membuahkan hasil yang manis. Tak sedikit cerita kesuksesan diawali dengan upaya gigih dari para pelakunya meskipun keterbatasan menjadi bumbu hidup di sana-sini. Saya teringat pengalaman pribadi seseorang yang bagi saya layak dijadikan sumber motivasi kita dalam menjalani hidup. Saya beruntung orang tersebut pernah berbagi cerita kepada saya secara langsung. Dulu orang tersebut adalah atasan saya saat masih bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Beliau sekarang adalah seorang direktur utama dan sekaligus pemilik perusahaan swasta nasional skala menengah atas. Padahal beberapa puluh tahun yang lalu beliau adalah orang biasa yang untuk menetap tinggal bersama isterinya saja harus menumpang di rumah sahabat dekatnya.

Dua potret kehidupan yang saling bertolak belakang ini sering menimbulkan pertanyaan di benak saya. Kenapa di satu sisi ada orang yang sudah bekerja keras tetapi tetap miskin, dan di sisi lain ada orang yang dengan kerja kerasnya mampu mengantarkannya menuju kesuksesan? Apa yang menjadi perbedaan di antara mereka? Apakah ini layak menjadi pembenar bahwa miskin memang sebuah takdir?

Dari kaca mata awam, saya menangkap ada perbedaan yang menyebabkan kondisi ini terjadi. Ketika kerja keras sama-sama sudah menjadi budaya di antara dua sisi ini, ada faktor yang lain yang bagi saya sering luput dari pantauan. Yah bagi saya faktor yang tidak kalah pentingnya dalam menjalani hidup adalah perencanaan masa depan. Banyak dari kita yang memiliki pemikiran hidup untuk hari ini, besok biarlah besok. Rejeki yang tuhan kasih hari ini yah dinikmati hari ini, urusan besok mau makan apa biarlah besok saja dipikirkan. Bagi saya ini adalah penerjemahan yang kurang tepat dari keharusan bersyukur dan menerima apa adanya semua rejeki yang tuhan kasih kepada kita.

Dari perbedaan ini, saya kemudian menjadi pihak yang menentang dengan keras bahwa miskin adalah takdir yang tidak bisa diubah. Sebagai seorang muslim saya selalu teringat ayat tuhan di dalam alquran yang menyatakan bahwa allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah nasibnya sendiri. Di sini jelas tuhan mengingatkan kepada kita, kaya atau miskin adalah pilihan!

Dari pengalaman menjalani hidup mantan atasan saya sehingga menjadi orang yang cukup sukses seperti saat ini, setidaknya saya belajar banyak hal. Menjalani hidup dengan sederhana dan fungsional itu poin utamanya Dengan kita hidup sederhana dan fungsional, banyak keuntungan yang bisa kita peroleh. Kita bisa menyisihkan sebagian penghasilan kita untuk rencana masa depan, misalnya menambung atau mengikuti program asuransi, entah kesehatan dan kematian, atau yang lainnya. Bahkan di mata saya, mantan bos saya ini adalah orang yang sangat keras kepada dirinya sendiri terutama terhadap budaya menabung dan asuransi. Bagi beliau, apapun bisa terjadi di dunia ini. Mungkin saat ini kita sehat dan segar bugar, bisa jadi esok hari kita terbaring lemah tanpa daya di rumah sakit. Bisa jadi hari ini kita masih menghirup udara segar kehidupan, tetapi siapa tahu esok hari tuhan sudah memanggil kita.

Saya bersyukur saat ini telah banyak program asuransi yang bisa kita pilih untuk merencanakan masa depan, entah itu asuransi asli Indonesia seperti Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera yang berdiri sejak 1912 atau asuransi-asuransi lain yang dikeluarkan perusahaan swasta. Semuanya bisa kita jadikan sarana untuk menggapai mimpi dan cita di masa depan. Mudah-mudahan dengan demikian mulai saat ini kita bisa mengatakan dengan mantap, untuk hari esok saya dengan sepenuh hati memilih untuk menjadi orang sukses agar bisa menjadi motivasi bagi kesuksesan orang lain di masa yang akan datang! Dengan demikian belenggu kemiskinan setahap demi setahap akan sirna dari negeri kita tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar