Kamis, 04 Februari 2010

Dakwah Bisnis, Apakah Kaya atau Miskin adalah Pilihan??

Bismillahirrahmanirrahim

Dan carilah pada apa yang telah Allah karuniakan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al-Qashash: 77)

Membaca ayat tersebut di atas, petunjuk Allah SWT kepada kita adalah hendaknya kita memfokuskan diri lebih kepada kepada urusan untuk mempersiapkan bekal sesudah mati (akhirat). Sedangkan urusan kenikmatan/kebahagiaan duniawi, Allah SWT hanya mengatakan "laa tansa = jangan kamu lupa", yang berarti ambillah secukupnya dengan bersikap zuhud terhadap dunia.

Dengan ayat ini ada yang berargumen, tidak mengapa seorang muslim memiliki rumah mewah, mobil mewah, dst asalkan masih mengingat Allah. Apakah pantas mereka berargumen demikian sedangkan kemiskinan kian bertambah di negeri ini ?!

Kalau kita cermati, apa pengertian "jangan melupakan bagian dunia" adalah hendaknya kita senantiasa merasa cukup dengan kehidupan dunia, karena kehidupan dunia ini hanya permainan yang fana.



"Lalu, apakah boleh bercita-cita menjadi kaya?"



Mungkin semua sepakat bahwa kekayaan adalah hal yang menarik, yang diinginkan dan didambakan oleh hampir semua orang. Akan tetapi siapa sangka bahwa ternyata tidak semua jenis dan kondisi kekayaan, kebercukupan, dan keberadaan adalah hal yang terpuji. Al-Qur'an ternyata menunjukkan bahwa Allah tidak selalu berpihak apalagi memuji orang kaya.

Dalam ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw kita temukan dua istilah yang berarti kekayaan. Ada istilah ghina (kaya), dan ada istilah tarof (mewah). Keduanya menunjukkan makna kekayaan, kebercukupan dan keberadaan. Tapi nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah punya sikap yang berbeda dengan kedua istilah tersebut.

Dalam al-Qur'an pemakaian akar kata ghina jarang dipakai untuk konteks mengecam. Al-Qur'an memakai kata ghaniyy untuk mengungkapkan sifat Allah Yang Maha Kaya. Sedangkan untuk manusia Allah memakai bentuk jamak (aghniya') yaitu orang-orang kaya, seperti di surat al-Baqarah ayat 273, Ali Imran 181, dan at-Taubah 93 semuanya dalam bentuk nakirah (indefinite) dan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dalam bentuk ma'rifah (definite). Dalam ayat-ayat tersebut Allah tidak menganggap kekayaan sebagai sesuatu hal yang tercela, Allah swt menyebutkan kata aghniya' dengan netral.

Kalau kita lihat hadits Nabi saw kita akan temukan sikap yang sama terhadap ghina dan akar katanya. Rasulullah saw bahkan memuji kondisi kaya dalam banyak hal misalnya dalam hadits riwayat imam Muslim:

"Sedekah terbaik adalah yang dikeluarkan dalam keadaan cukup (kaya), dan tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, dan mulailah dari keluargamu." (HR Muslim)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa'd bin Abi Waqqash, Rasulullah saw bahkan mengatakan bahwa kondisi kaya bagi ahli waris lebih baik dari kondisi miskin tak berdaya. Rasulullah saw bersabda kepada Sa'd:


"Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka miskin meminta-minta kepada orang." (HR al-Bukhari dan Muslim)

Meskipun juga Rasulullah saw tidak mengajarkan kita untuk menjadi materialistis, menganggap bahwa kekayaan materi adalah segalanya. Rasulullah saw berkata bahwa


"Kekayaan bukanlah dengan banyaknya materi tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Itu tadi tentang istilah ghina, bagaimana dengan istilah tarof? Kita temukan dalam al-Qur'an bahwa orang-orang yang mutrof (bermewah-mewahan) selalu dikecam. Kata tarof dan akar katanya disebutkan tiga kali dalam al-Qur'an dan ternyata semua bernada mengecam.

Kita lihat bagaimana surat al-Waqi'ah berbicara tentang "golongan kiri" yang merupakan penduduk neraka. Di ayat 45 Allah menyebutkan sifat mereka:

"Sesungguhnya mereka sebelumnya (ketika di dunia) adalah orang yang bermewah-mewahan." (QS. Al Waqi'ah: 45)

Kita baca lagi surat al-Israa', dalam ayat ke 16 Allah swt berfirman:

"Dan jika Kami ingin menghancurkan sebuah negeri, Kami perintahkan orang-orang yang bermewah-mewahan dari mereka sehingga mereka berbuat dosa di negeri itu, lalu mereka berhak mendapakan ketentuan (azab), dan Kami hancurkanlah negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. al-Israa': 16)

Dalam surat Hud juga ditemukan bagaimana pengaruh orang-orang yang bermewah-mewahan itu. Allah swt berfirman pada ayat 116:

"Dan orang-orang yang zhalim mengikuti kemewahan yang ada pada mereka. Dan mereka adalah orang-orang yang berdosa." (QS. Hud: 116)

Dari sini secara umum kita bisa melihat perbedaan antara kekayaan yang terpuji dan kesejahteraan yang layak diperjuangkan, dengan kemewahan dan kehidupan glamour yang tidak dipuji bahkan dikecam oleh al-Qur'an.

Layak untuk direnungkan bagi kita terutama bangsa Indonesia yang sedang berjuang meraih kesejahteraan agar menyadari bahwa capaian materi yang diajarkan oleh Islam bukanlah kehidupan yang glamour dan berfoya-foya. Al-Qur'an membedakan antara kekayaan yang terpuji dengan kemewahan yang tercela.

Allah swt membolehkan bahkan mendorong adanya kekayaan bukan untuk dinikmati didunia ini semata-mata. Tetapi untuk diberikan kepada yang berhak, diinfakkan pada hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan umum, untuk membela agama dan negara, serta tujuan-tujuan mulia lainnya. Sedangkan kekayaan yang hanya digunakan untuk berfoya-foya dan bahkan untuk menyombongkan diri, adalah bencana yang hanya mencelakakan sang pemiliknya saja.

Konglomerat generasi pertama Islam yaitu Abdurrahman bin 'Auf radhiallahu'anhu pun yang termasuk dijamin masuk surga tidak berbuat mewah. Bila ia berkumpul dengan para pembantunya niscaya kamu tidak dapat membedakan mana Abdurrahman bin 'Auf radhiallahu'anhu dan pembantunya dikarenakan pakaiannya yang sangat sederhana. Ia sadar dunia hanya tempat singgah sebentar saja. Itulah kehidupan generasi pertama Islam yang membacanya niscaya akan berurai air mata. Dunia dalam gengamannya tapi mereka tidak mau diperbudak oleh dunia. Semoga kita sadar akan hal ini.

Dari hadits-hadits dan kisah sahabat nabi, Abdurrahman bin 'Auf di atas, kita bisa mengambil hikmah bahwa, sikap yang terbaik bekerja dengan optimal dan menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah, janganlah malas dalam bekerja, sehingga seorang akan menjadi lebih bermanfaat bagi umat, serta hendaknya tetap zuhud dengan hal-hal dunia.

Wallahu'alam bi shawwab..

(dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar