Kamis, 04 Februari 2010

1000 Alasan untuk Gagal, 1 Alasan untuk SUkses

1000 Alasan untuk Gagal, 1 Kemauan untuk Sukses

Selama ini sering berkembang anggapan dalam masyarakat bahwa menjadi pengusaha memerlukan suatu "kualifikasi" khusus yang sangat tinggi dan tak mudah dijangkau. Dari sekedar persepsi, lambat laun anggapan tersebut akhirnya menjelma menjadi suatu mitos yang sulit diurai dari kenyataan yang sesungguhnya. Saya sendiri dulunya termasuk orang yang terjebak dalam mitos itu, seperti misalnya: "…oh karena saya adalah dari suku Sioux, maka saya tidak mungkin menjadi pengusaha seperti mereka yang berasal dari suku Apache" dan sebagainya. Namun kenyataannya setelah saya jalani ternyata hal-hal yang mulanya saya terima sebagai kebenaran ternyata hanyalah mitos semata yang banyak salahnya dibanding benarnya. Berikut adalah beberapa mitos yang kerap saya jumpai dalam masyarakat:
Pengusaha adalah Seorang RISK TAKER/Penjudi

Dulu saya dan mungkin sebagian besar orang berpikir bahwa pengusaha sudah semestinya adalah seorang Risk Taker sejati. Saking berani dan nekatnya, maka saya mengidentikkan pengusaha dengan penjudi yang main judi dadu seperti dalam kisah Mahabarata dimana Yudhistira bermain judi melawan Duryudana dan bahkan sampai mempertaruhkan Drupadi dalam ajang perjudian itu. Pilihannya selalu hanya dua, menang berarti sukses atau kalah dan berarti malapetaka, tidak ada alternatif lain.

FAKTA:

Menjadi pengusaha tidak semestinya berjudi, namun lebih banyak bersifat RISK HANDLER, yakni memiliki kemampuan untuk mengendalikan potensi dan resiko yang mungkin terjadi. Semua tindakan yang melibatkan pilihan pasti memiliki resiko meski sekecil apapun. Pengusaha dengan jam terbang yang cukup semestinya bisa membedakan diantara berani mengambil resiko dan melakukan tindakan konyol. Bahwa resiko itu pasti ada memang tak terhindarkan, namun mengantisipasi resiko, mengkalkulasi resiko, serta menyiapkan alternatif solusi untuk meminimalisir dampak resiko juga merupakan strategi yang harus dikuasai oleh seorang pengusaha tulen.
Hanya untuk Etnis/Suku Tertentu

Sebagian orang beranggapan bahwa pilihan menjadi pengusaha hanya didominasi oleh suku tertentu, katakanlah suku Apache. Sedangkan mereka yang berasal dari suku Sioux "ditakdirkan" menjadi petarung. Bagi saya itu hanyalah semacam "denial" atau penyangkalan sepihak dari orang yang enggan atau malas mencoba sesuatu yang baru.

FAKTA:

Faktanya untuk menjadi pengusaha tidak mesti dari suku Apache. Semua orang berhak dan bisa menjadi pengusaha sepanjang dia mau dan mampu mengusahakannya. Meskipun mungkin banyak orang dari suku Apache yang menjadi pengusaha, namun berdasarkan refleksi saya hal itu lebih dikarenakan keuletan, etos kerja, jaringan, dan juga kemauan yang kuat dari anggota suku Apache untuk menjadi seorang pengusaha. Dalam abad XXI ini menurut saya sangatlah naïf kalau kita mengaitkan suatu pencapaian dengan latar belakang suku, etnis, dan agama. Intinya adalah semua bisa kalau tahu caranya.
Ini Soal Genetik

Kerap kali saya mendengar dari rekan saya bahwa mereka tidak percaya diri untuk membangun bisnis dikarenakan latar belakang mereka yang bukan dari pengusaha. Teman saya sedemikian yakinnya bahwa dia tidak akan mampu menjadi pengusaha yang sukses karena ayahnya adalah seorang pegawai negeri dan ibunya adalah seorang guruSaya sepakat dengan dia bahwa dia memang tidak akan mungkin berhasil menjadi pengusaha yang sukses. Bukan karena dari latar belakang profesi orang tuanya, tapi lebih karena keyakinannya yang kuat pada sesuatu yang salah dan konyol.

FAKTA:

Saya yakin semua hal itu bisa dipelajari. Karena santet dan debus bisa dipelajari, maka saya 1000% yakin kalo untuk menjadi pengusaha itu sudah pasti ada ilmunya dan pasti bisa dipelajari. Sekali lagi ini soal kemauan, bukan soal latar belakangnya.
Perlu Modal Besar

Banyak orang berpikir bahwa dia tidak akan bisa memiliki usaha dikarenakan tidak memiliki modal yang cukup. Karena tidak memiliki modal, maka harus pasrah menjadi pegawai seumur hidupnya. Bagi saya menjadi pegawai adalah pilihan yang mulia, asal memang dinikmati dan bukannya karena suatu keterpaksaan.

FAKTA:

Saya pasti berbohong kalau bilang modal itu tidak penting, karena modal itu super penting sekali. Namun masalahnya sebagian orang itu hanya berpikir bahwa modal itu identik dengan uang, titik! Menurut saya itu merupakan suatu pemikiran yang sangat simplistik dan tidak kreatif. Modal itu bisa dalam berbagai bentuk. Waktu memiliki usaha saya memang tidak memiliki modal uang, namun saya memiliki modal lain yang sangat besar, yakni kemauan, determinasi, jaringan bisnis, ketrampilan, dan juga kemampuan membaca peluang. Saya yakin banyak orang Indonesia yang memiliki modal dalam bentuk uang, namun tidak memiliki modal seperti yang saya punyai. Jadi yang perlu saya lakukan hanyalah melakukan sinergi dari modal-modal tersebut.
Perlu Pendidikan Tinggi

"Karena hanya lulus SMA, maka saya cukup menjadi OB saja Pak." Demikian ujar karyawan saya beberapa tahun silam. Dia bilang sama sekali tidak berani (bahkan bermimpi sekalipun) menjadi pengusaha karena dia merasa hanya tamatan SMA dan tidak memiliki cukup ketrampilan.

FAKTA:

Faktanya Ibu saya , seorang "lulusan" SD kelas 2 sebelum sekolahnya keburu ditutup karena peristiwa G30S tahun 1965, dalam masa jayanya sempat mengembangkan serangkaian usaha di beberapa negara dengan staff yang rata-rata minimal lulusan D3 dan S1. Saya sependapat sekali bahwa pendidikan itu penting, namun bukan berarti tanpa pendidikan tinggi merupakan akhir dari semua hal. Banyak referensi nyata pengusaha yang memiliki pendidikan biasa-biasa saja namun akhirnya bisa berhasil. Pendidikan singkat yang berbasis vokasional (vocational) yang sekarang marak berkembang, menurut saya merupakan sarana yang efektif untuk terus meng-upgrade kemampuan personal kita.
Menunggu Situasi Ekonomi Membaik

Beberapa sahabat berujar kepada saya bahwa mereka akan membuka usaha pada saat situasi ekonomi membaik lepas dari krisis global.

FAKTA:

Faktanya krisis tidak akan pernah berhenti! Karena krisis itu lebih berupa sudut pandang akan sesuatu. Kalau kita melihat itu sebagai krisis, maka situasinya memang akan menjadi krisis, namun sebaliknya kalau kita melihat dari sudut pandang yang lainnya, maka kondisi saat ini merupakan kondisi yang prospektif dan penuh peluang. Sekali lagi ini soal persepsi dan yang pasti persepsi itu tidak sama dengan realitas.

Demikian sekilas refleksi saya soal mitos-mitos tentang entrepreneurship yang berkembang dalam masyarakat kita. Saya tidak pernah berpretensi refleksi saya tersebut benar, namun hal tersebut lebih berupa merupakan sharing berdasarkan pengalaman saya yang masih minim. Akhirnya, kita bisa punya 1000 alasan untuk gagal dan hanya perlu 1 kemauan saja untuk sukses! @Betley-070709

Say YES to SUCCESS!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar