Jamil Azzaini Jalan Hidupnya Inspirasi bagi Orang Lain
Kisah tentang seorang anak miskin yang sukses meniti hidup.
Awal Januari lalu, seorang pria dengan setelan jas hitam tampil sebagai host sebuah acara Papua Muslim Care di Jakarta. Pada kesempatan itu, ia memandu dua orang narasumber, Ustadz Fadzlan Garamatan dan Ibu Tri Mumpuni yang sedang merencanakan membangun perkampungan Muslim di Papua.
Akhir acara, pria ini tak langsung menutup acara itu. Ia melakukan aksi monolog di atas panggung. Penonton seolah terhipnotis dengan kalimat-kalimat motivasi yang terucap dari lisannya. "Hal terbaik apa yang sudah kita lakukan untuk bekal akhir nanti?" gugahnya menutup acara malam itu.
Walhasil, penonton tergugah untuk membantu kegiatan dakwah yang dilakukan oleh narasumber tadi. Dalam satu malam, terkumpul dana sekitar Rp 1,2 miliar. Dana itu rencananya digunakan untuk membangun perkampungan Muslim di Papua.
Dialah Jamil Azzaini, yang kini banyak dijuluki sebagai Inspirator Sukses Mulia. "Saya punya cita-cita tahun 2023, ketika berumur 55 tahun, saya telah menginspirasi dan mendorong lima juta orang untuk menjadi sukses mulia," ujar Jamil yang belum lama ini meluncurkan buku Tuhan, Inilah Proposal Hidupku. "Sehingga ketika saya menghadap Allah, saya sudah punya bekal yang bisa dibanggakan," urainya.
Berprestasi dan Berbagi
Tekad Jamil tadi, tak sekedar isapan jempol. Bersama dua orang kawannya, Jamil sedang giat-giatnya mengembangkan PT Kubik Kreasi Sisilain, sebuah lembaga training dan konsultasi yang sudah diakui secara nasional. Menurut Jamil, beberapa perusahaan swasta dan BUMN telah menjadi partnernya.
Selain itu, dalam kesempatan berbeda ia juga memberikan pelatihan. Misalnya, dalam acara Life Excellent di Trijaya Network dan ASA Media, sebuah lembaga kursus dan pendampingan guna menghasilkan penulis handal. Bahkan, semua materi pelatihan dan inspirasinya ia tuliskan dalam tiga buah buku, berjudul Kubik Leadership, Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia, dan Tuhan Inilah Proposal Hidupku. Dua buku pertamanya sukses menjadi best seller.
Bersamaan dengan itu, ia juga mengelola beberapa usaha, seperti toko perlengkapan bayi Mutia Bunda dan Syafaat Advertising.
Bagi Jamil, apa yang ia raih hari ini harus bisa dirasakan oleh orang lain. Bersama sang kakak, Jamil mendirikan sekolah murah di Provinsi Lampung. "Muridnya sekarang 1.200-an orang," Jamil menjelaskan. Dosen di Pascasarjana IPB ini juga mendirikan Pesantren Wirausaha Abdurrahman bin 'Auf secara cuma-cuma di Klaten Jawa Tengah. "Saya memilih jalan hidup ini, mungkin karena dulu saya orang miskin. Ketika saya susah kemudian ditolong orang lain, itu senangnya luar biasa," tandasnya.
Karena itu, salah satu komitmen Jamil adalah memutus rantai kemiskinan di Indonesia. Maka, iapun menginspirasi dan mendukung berdirinya berbagai usaha di Indonesia.
Lebih penting lagi, kata Jamil, semua aktivitasnya itu ia jalani dengan dilandasi ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT). "Kalau nggak dilandasi ibadah, ngapain capek-capek," ia beralasan.
Kerasnya Hidup
Pria yang lahir 40 tahun silam di Purworejo, Jawa Tengah ini lahir dari keluarga miskin. "Rumah kami saat itu tak berdinding, jadi kalau malam saya membakar kayu supaya hangat," kenang Jamil.
Lalu, Jamil kecil dan keluarganya pindah ke Lampung Selatan. "Kami tinggal di tengah hutan. Rumah terdekat jaraknya dua kilometer," ujarnya. Menurut Jamil, rumahnya beratap ilalang dan berdinding bambu, dibuat panggung agar aman dari serangan binatang buas. Bukan tanpa alasan orangtuanya memilih rumah di tengah hutan. "Karena di sana gratis, orangtua saya kan miskin," Jamil menjelaskan.
Pernah saat kelas satu SD, Jamil tidak naik kelas. Menurut Jamil, untuk hidup saja susah, apalagi untuk belajar. Tapi, kesusahan itu tak membuat Jamil putus sekolah. Di SMP, untuk membayar SPP ia menjadi buruh di perkebunan karet sekitar rumahnya. "Saya dibayar Rp 4.000 per bulan," ujarnya. Sementara untuk sekolah SMA, ia mesti mengayuh sepeda sejauh 46 km. Meski demikian, peraih siswa teladan ini selalu menyabet peringkat pertama sejak kelas 6 SD hingga lulus SMA.
Karena prestasinya, Jamil diterima tanpa tes di Institut Pertanian Bogor (IPB). Untuk bekal pergi ke Bogor, orangtuanya berhutang ke sana ke mari. Di IPB, Jamil memilih jurusan Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Untuk menyambung hidup, Jamil berjualan koran dan buku. Ia pun terpaksa tinggal di masjid atau asrama guna menghemat pengeluaran. Ketika tingkat tiga, Jamil memutuskan untuk menikah dengan teman KKN-nya. "Daripada maksiat," ujarnya enteng.
Setelah lulus tahun 1992, Jamil sempat mengelola bisnis komputer dan katering sambil bekerja di Lembaga Pengabdian Masyarakat IPB. Tak lama kemudian, Jamil diangkat menjadi pegawai negeri di Bulog, tapi ia menolak.
Selanjutnya, Jamil ikut mengelola Dompet Dhuafa (DD), sebuah lembaga ZIS. Saat itu, DD masih kecil dan tidak dikenal. Tahun 2000, di tengah kesibukannya di DD, Jamil kuliah S2 jurusan manajemen di IPB. Selesai tahun 2003 dengan nilai sangat memuaskan, mendapat nilai A untuk semua mata kuliah kecuali satu, dapat B.
Setelah 11 tahun membesarkan DD hingga diakui dunia internasioal, Jamil memutuskan keluar. "Untuk memberikan kesempatan kepada yang muda-muda agar lebih kreatif lagi," katanya. Setelah itu, Jamil lebih memfokuskan diri menekuni dunia motivasi.
Peran Besar Bapak
Bagi Jamil, orang yang paling berperan dalam hidupnya adalah kedua orangtuanya. Mereka seringkali memberikan nasihat agar anak-anaknya maju. Dari nasihat-nasihat itulah Jamil banyak belajar tentang kehidupan. Ada satu nasihat ayahnya yang paling ia ingat. "Memang sekarang kita miskin harta, tapi jangan pernah kamu miskin prestasi. Kamu harus punya satu prestasi yang nanti bisa dibanggakan di hadapan bapak, ibu, saudara-saudara kamu, dan di hadapan Allah," kata Jamil menyampaikan nasihat ayahnya. "Nasihat itulah yang selalu tertanam dan mendorong saya untuk melakukan yang terbaik," ujar Jamil.
Orangtua Jamil sangat memperhatikan masalah pendidikan. Mereka pinjam sana-sini untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Usaha dan pengorbanan orangtuanya tidak sia-sia, kini Jamil dan kakak serta adiknya sudah menjadi orang sukses. Kakak pertamanya jadi guru sekaligus kepala sekolah. Adik pertamanya menjadi juru dakwah, sementara adik bontotnya menjadi pegawai negeri di Depag.
Saking besarnya peran orangtua, Jamil merasa tak akan mampu membalas kebaikan keduanya. "Walau kita berbuat baik kepada mereka seumur hidup, menaikan haji berpuluh kali, tetap tidak akan terbayar," ujarnya.
Kini, Jamil hidup bahagia bersama istri dan anak-anaknya; Ria, Sofie, Dhira, Sholah, Izan, Hanna, dan Izul. Semuanya ia didik dengan cinta dan perhatian. Untuk tetap menjaga hubungan dengan mereka di tengah kesibukannya, Jamil seringkali membawa anak-anaknya secara bergiliran setiap ke luar kota. Jika sedang di rumah, ia optimalkan waktu untuk dekat dengan anak-anak. Dan tak lupa memberikan nasihat kepada mereka, "Saya hanya pesan kepada mereka, jangan melanggar ketentuan Allah." *Dwi Budiman, Ahmad Damanik/Suara Hidayatullah APRIL 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar