Bukit Impian Pemulung Jalanan
Aku bukan hewan buruan… kenapa kalian selalu mengejar kami wahai serdadu-serdadu
Aku bukan pencuri… kenapa kalian selalu membayangi setiap langkahku…
Hanya itu yang bisa ia teriakkan dalam hatinya. Tanpa memperdulikan luka menganga di sekujur kakinya, dia menggenggam tangan mungil itu erat-erat dengan langkah setengah berlari. Dari kejauhan terdengar lengkingan peluit petugas memecah keheningan malam. Ya, ini sudah yang kesekian kalinya sejak peraturan itu ditetapkan. Sungguh merupakan tamparan keras bagi mereka para pemulung jalanan. Apakah ini salah mereka sehingga menggantungkan hidupnya dengan cara seperti itu?
Tidaklah ada orang yang terlahir dan besar di dunia memiliki cita-cita dan pekerjaan untuk menjadi seorang pemulung jalanan. Semua akan mengatakan terpaksa menjalani pekerjaan tersebut. Apakah jalan yang mereka pilih merupakan sebuah kejahatan, sehingga harus diburu bagai binatang liar.lanjut membaca
"Mau kemana kita mak? Kenapa kita harus lari? dan kenapa mereka selalu mengejar kita?" Tanya Imung polos.
Khodijah menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca dan air mata sedikit menyembul dari kelopak matanya yang mulai berat dibuka karena tertutup keriput.
"Mungkin kehadiran kita tak disukai, makanya kita selalu berlari kalau bertemu mereka," jelas Khodijah. "Malam ini kita menginap di sini saja." Sang anak mengangguk.
Dengan tertatih-tatih Khodijah menurunkan keranjang dari punggungnya, sedangkan si anak segera berlari mencari sesuatu untuk dijadikan alas tidur mereka.
"Mak, Imung dapat," sahut anak itu sambil mengacungkan koran tinggi-tinggi dari gengaman tangannya. Khodijah tersenyum menatap anaknya.
Malam itu langit terlihat sangat indah. Bulan memantulkan sinarnya dengan sempurna, laksana lentera yang menyinari tiap sudut ruang dikala haus akan penglihatan. Halte itu pun terpaksa dijadikan penginapan bagi Khodijah dan Imung. Semenjak si jago merah melahap habis tempat tinggalnya beberapa waktu silam, mereka memang kerap kali berpindah-pindah tempat untuk sekedar bernaung dari panas maupun dingin.
"Mak, besok kita akan pergi ke mana?" Tanya Imung yang rebah di pangkuan Khodijah.
"Besok kita akan pergi ke sebuah bukit."
"Bukit apa Mak? Kenapa kita harus ke sana?"
Tatapan mata Khodijah menerawang jauh, seakan melihat apa yang akan ditemuinya di bukit itu. Cerita sukses tetangga sekampungnya dan seprofesi, Suwaji yang sukses menjadi jutawan pun terlintas di benaknya.
"Bukit impian namanya. Bukit itu sangat indah untuk orang seperti kita. Banyak emas yang bisa kita kumpulkan di sana. Orang-orang di sana pasti akan menerima kehadiran kita."
"Emas Mak? Berarti kita akan jadi orang kaya?" Khodijah tersenyum. "Wah, berarti Imung bisa sekolah lagi, dan kita akan punya rumah nantinya, iya kan, Mak?"
"Berdoalah kepada Gusti Allah. Semoga ia mengabulkan semua harapan kita," ujar Khodijah seraya membelai rambut Imung. "Tidurlah nak. Besok pagi-pagi sekali kita pergi ke bukit itu."
"Iya Mak," jawab Imung, lalu memejamkan matanya dengan harapan matahari segera menampakkan wujudnya karena tak sabar ingin bertemu dengan bukit impian.
Khodijah memandangi lekat-lekat wajah Imung yang sedang tertidur. Ada perasaan sesal di hati. Dengan suara pelan, seakan bicara dengan diri sendiri, Khodijah bergumam, seharusnya kau tak mengalami hal ini nak, dan seharusnya kau merasakan sekolah seperti kebanyakan anak-anak seusiamu.
Dikecupnya kening Imung, "jangan kau ikuti jejak ibumu ini nak, dan semoga kelak kau mendapatkan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan untuk masa depanmu."
Sesaat Khodijah termenung teringat akan cerita beberapa rekannya tentang tiada lubang kubur bagi pemulung yang hidup sebatang kara. Cerita itu seakan tergambar jelas di benaknya bahwa ia yang mengalami nasib itu saat malaikat maut menjemput. Haramkah pekerjaanku sehingga harus diperlakukan seperti bangkai binatang. Salahkah keberedaanku di muka bumi ini.
Kemudian Khodijah menengadahkan wajahnya ke langit, seraya berucap dalam hati, biarlah aku tak memiliki rumah disaat jantung ini masih berdetak. Tapi Tuhan, aku ingin mendapatkan "rumah" disaat nadi ini tak lagi berdenyut.
* * *
Khodijah tak perduli akan teriknya matahari yang memanggang bukit itu sambil mengais-ngais sampah tanpa merasa jijik. Tanpa memperdulikan kerumunan lalat yang menari-nari di atas luka kakinya yang menganga, tangan renta Khodijah dengan lincah mengayunkan gancu dan mengangkat barang-barang dari tumpukan sampah yang berbau menyengat hidung.
Bukan hanya Khodijah, kebanyakan dari mereka—pemulung jalanan, memang sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sepertinya mereka tidak punya rasa takut sewaktu-waktu kaki mereka amblas di lautan sampah atau tiba-tiba tumpukan sampah itu longsor dan menyeret mereka ke bawah.
Mereka seolah-olah berlomba mengumpulkan sampah di bukit itu dengan berani mengambil kesempatan meski peluang itu berada di depan bahaya. Mereka pun tak pernah menuntut penghargaan apa-apa dari pemerintah meski sudah menjadi pahlawan dengan membantu mengurangi beban sampah warga Jakarta. Mereka hanya ingin hidup tenang menjalani profesinya tanpa harus dihantui rasa takut karena diburu oleh para serdadu. Mungkin harapan terbesar mereka adalah bisa menjadi "Suwaji" berikutnya atau bahkan lebih dari sekedar seorang Suwaji.
Imung menghampiri Khodijah dengan tatapan nanar. "Apakah ini yang disebut dengan bukit impian? Dimanakah emas yang Emak bilang kemarin?" Tanya Imung ketus. Khodijah menatap Imung dengan wajah sendu, dan tanpa sadar gancu di tangannya terlepas dari genggamannya.
"Emak bohoong," sahut Imung, lalu pergi dengan perasaan kecewa meninggalkan Khodijah.
Khodijah menatapi kepergian anaknya, seraya bergumam lirih. "Inilah bukit impian itu nak." Kini wajah Khodijah pun terlihat semakin sendu ketika butiran-butiran bening menyembul dari kedua sudut matanya dan berlinang membasahi keriput pipinya.
Ah, seandainya Imung mengerti. Inilah bukit impian bagi mereka. Inilah tanah harapan bagi sedikitnya 6.000 pemulung yang berasal dari berbagai wilayah. Paling tidak timbunan jutaan ton sampah itu dapat memberikan peluang bagi para pemulung untuk dapat menyambung hidupnya. Memang ironis bila sampah dan emas disandingkan dalam taraf yang sejajar. Tapi itulah nyatanya, sampah merupakan kehidupan bagi mereka. Dan satu yang pasti, kehidupan mereka bukanlah sampah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar