Senin, 08 Maret 2010

Kisah sukses pengusaha keripik belut


Keripik Belut Disukai di Mancanegara

SIAPA sangka keripik belut disukai orang mancanegara? Namun itulah kenyataan yang diungkapkan Sutarto, pengusaha keripik belut warga Sanggrahan, Kalurahan Joho, Sukoharjo.

Sesuai dengan kesepakatan pembeli asal Australia, setiap bulan dirinya harus mengirimkan 1 kontainer keripik. Jika 1 kontainer berisi keripik 1 ton, setiap hari dia harus memproduksi 226 kg. Padahal, saat ini usahanya hanya mampu memproduksi 100 kg. ''Ini memang tantangan berat bagi kami. Tetapi bagaimanapun bertekad memenuhi pesanan itu,'' ujar lelaki berusia 35 tahun itu.

Dia mengaku merintis usaha keripik belut karena coba-coba. Semula karyawan Kecamatan Sukoharjo itu merintis bisnis jual beli mobil. Namun usahanya menurun seiring dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bahkan akhirnya dia memilih menutup usahanya karena rugi.

Setelah vakum beberapa saat, ayah Pratama Agung Nugroho dan Primawan Dwi Nugroho ini mencoba menekuni penjualan belut segar. Alasannya, dia melihat banyak pencari belut di Sukoharjo yang kesulitan dalam hal pemasaran. Lalu dia menampung belut-belut tersebut dan menjualnya kembali kepada para perajin keripik.

Setiap hari dia bisa memasok ratusan kilogram belut kepada para perajin keripik belut di Sukoharjo, Klaten, Yogya, hingga Tasikmalaya. Meskipun semula lancar, usahanya menghadapi kendala cukup besar. Pesanan rutin yang diharapkan selalu datang ternyata terkadang lowong. ''Akibatnya, saya menanggung kerugian cukup besar. Bagaimana tidak, sekitar 1,5 kuintal belut segar tak bisa dipasarkan.''

Dipraktikkan

Cobaan tersebut toh tidak membuatnya patah semangat. Malah sebaliknya, muncul keinginan untuk menggoreng belut yang masih ada. Saat itu juga dia belajar cara membuat keripik belut kepada tetangganya yang menjadi perajin keripik belut.

Sampai di rumah, dia segera mempraktikkan apa yang telah dipelajarinya. Setelah matang, dicobanya untuk mengetes rasa keripik tersebut. Merasa belum puas, kembali dia menggoreng dengan tambahan bumbu sendiri. ''Ternyata rasanya enak, sehingga resepnya saya gunakan hingga sekarang.''

Dengan semangat tinggi, keripik produknya dipasarkan kepada beberapa bakul. Beberapa hari kemudian setelah dicek, keripik belut buatannya laku keras. Bahkan para bakul minta tambahan pasokan. Hal ini membuatnya makin optimistis dalam menjalani profesi baru.

''Apalagi ketika beberapa swalayan besar di Solo, Yogya, dan Jakarta meminta untuk memasok keripik belut buatan saya. Saya makin optimistis.''

Sukses merambah swalayan, Sutarto pun melirik pasar antarpulau. Perlahan namun pasti, usaha yang dikelola sejak 1,5 tahun lalu terus berkembang. Keripik buatannya mampu menembus pasar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Dia kemudian merekrut tenaga khusus di bidang pemasaran, penggorengan, dan pemilihan bahan baku. ''Untuk melayani pesanan, saya mempekerjakan 10 karyawan yang dibayar di atas UMR.''

Usahanya makin melejit ketika datang pesanan dari Australia. Di sisi lain, dirinya juga menghadapi tantangan sangat besar, karena harus mampu menjaga mutu dan kualitas, sekaligus menjaga konsistensi pemasokan sesuai kesepakatan dengan pembeli.

Kunci untuk menghasilkan keripik yang enak, harus dipilih belut tangkapan di sawah. Bukan sebaliknya, menggunakan belut hasil budi daya yang menggunakan pakan yang mengandung bahan kimia. Uniknya, meski omzetnya mencapai puluhan juta rupiah setiap hari, dia enggan berhubungan dengan bank.

''Semua masih saya cukupi dengan modal sendiri. Namun entah nanti kalau kekurangan modal, mungkin saya terpaksa pinjam bank,'' katanya. (Joko Murdowo-74c)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar