Mengurut-urut Laba sang Belut
Kisah Komalasari berbisnis belut
Dari sekadar meneruskan bisnis kecil-kecilan di keluarganya, Komalasari menjadi juragan produk olahan dari belut. Sekarang ia melibatkan sekitar 200 pencari belut untuk memenuhi kebutuhan produksinya sebanyak satu kuintal belut sehari.
Kendati kalau digigit hanya menghasilkan bunyi kriuk… kriuk…, dan segera hilang ditelan perut, janganlah meremehkan sebatang belut goreng. Perjalanan belut mentah sampai ke tangan konsumen dalam kondisi siap makan tidaklah singkat. Pengolahan belut juga bisa menjadi sumber asap dapur plus sandaran hidup ratusan orang, seperti yang dilakukan Komalasari.
Komalasari, wanita setengah baya dari Sukabumi, memang identik dengan belut. Cobalah menelusuri Cianjur sampai Sukabumi. Di sana niscaya dengan mudah kita temukan olahan belut dalam plastik dengan beragam merek berbau Komalasari. Ada yang menaruh nama Komalasari, Komalasari Asli, dan semacamnya. Namun, Komalasari yang serius menggarap bisnis belut sejak 1990 justru menempelkan label Flamboyan pada produk belut bikinannya.
Komalasari memproduksi sekitar 12 jenis olahan belut; mulai dari keripik, balado, abon, sampai jamu dari belut. Untuk memasok pasar yang sudah dikuasainya, Komalasari mengolah sekitar 1 kuintal belut segar setiap hari. Hasil olahan belut itu lantas dijual dengan harga beragam.
Komalasari tidak hanya menitipkan olahannya di warung-warung kecil seputar rumah, namun juga gerai ritel lain. Maka, Komalasari membikin banyak versi kemasan belut. Misalnya, untuk warung kecil ia menaruh belut kemasan kecil yang harganya Rp 2.000. "Kalau untuk pameran kita perbesar kemasan, harganya Rp 10.000," tuturnya.
Seperti lazimnya pengusaha makanan lain, Komalasari juga mengirimkan produk belutnya ke mancanegara, sebut saja ke Dubai. Menurut dia, pesanan tersebut berasal dari permintaan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bermukim di sana. "Biasanya saya mengirim sekitar 100 kg, lewat kargo saja," kata ibu tiga anak ini. Selain ke Dubai, Komalasari juga baru saja mendapatkan pesanan belut segar sebanyak 2 ton per bulan dari Korea Selatan. "Sedang saya usahakan untuk dikirim, "sambungnya.
Awalnya geli menyantap belut
Tentu saja, kebutuhan belut Komalasari tidak dipenuhinya sendiri. Ia mengerahkan sekitar 200 petani penggarap di Sukabumi untuk mengumpulkan belut di sawah. Kendati sebenarnya bisa diternakkan, Komalasari tidak tertarik membudidayakan belut. Ia lebih suka membeli belut segar seharga Rp 15.000 dari petani. Menurutnya, belut yang dibudidayakan di tambak biasanya sudah diberi pakan tambahan. Itu berbeda dengan belut di sawah yang memakan bahan-bahan alami. "Ya, kalau ayam seperti ayam kampunglah," cetusnya.
Komalasari percaya, petani penggarap bisa terbantu kalau ikut memasok belut kepadanya. Maklumlah, "Menangkap belut kan bisa dilakukan sambil tidur," seloroh Komalasari. Ia bilang, kalau malamnya si petani menebar bubuk pakan, paginya ia tinggal memungut belut yang kekenyangan sebanyak 2 kg. "Kalau dia niat mencari dan mengajak keluarga, bisa dapat empat sampai 5 kg, lo!" katanya.
Berapa pun setoran para petani, Komalasari tidak menolak. Toh, menurutnya, masa panen belut seperti diatur bergantian tiap wilayah. Ia juga bisa dengan tenang mengolah dan memasok belut ke para pengecernya.
Kala melongok ke belakang, Komalasari ingat betul bagaimana sulitnya memasarkan olahan belut. "Awalnya kan orang geli makan belut. Tapi, akhirnya orang sadar kalau kandungan proteinnya tinggi," ujar Komalasari.
Jaringan pertama yang digarap Komalasari adalah kumpulan ibu-ibu PKK. Ia pun bergabung di dalamnya. Waktu itu, sekitar tahun 1985, Komalasari sudah memiliki usaha pembuatan dendeng belut, yang merupakan bisnis keluarganya. "Dari situ saja saya tenteng dan tawarkan setiap ada pertemuan dan pengajian," ucapnya.
Lima tahun kemudian usaha pengolahan belutnya semakin berkembang. Pasokan belut dari kolam keluarga plus beli sana-sini dari tengkulak kian dirasa kurang untuk memenuhi permintaan. Maka, Komalasari lantas mengajak petani penggarap untuk membantunya mencari binatang yang susah dipegang itu. Agar si petani menepati janji, Komalasari memberi mereka uang pembelian di muka.
Awalnya, hanya 10 petani yang mau bekerja sama dengan Komalasari. Jumlah tersebut meningkat menjadi dua kali lipat dalam waktu singkat. Lantas Komalasari pun mendirikan kelompok usaha pengolahan belut yang dia namai Flamboyan pada tahun 1990. Anggotanya ada sekitar 20 orang petani penggarap.
Lantaran berhasil mengembangkan pasar, kebutuhan belut Komalasari terus meningkat. Maka, ia pun harus menambah tenaga pencari belut. Alhasil, sekarang Flamboyan memiliki sekitar 190 anggota petani pencari belut yang terbagi menjadi enam kelompok. Dari merekalah Komalasari mendapatkan pasokan belut segar. "Sebelum diolah, belut memang harus segar supaya olahannya awet," kata Komalasari, yang kerap mengadakan pelatihan cara menangkap belut.
Selain menitipkan produknya ke toko makanan, Komalasari juga membikin gerai sendiri di Sukabumi. Beberapa waktu lalu ia mendirikan warung dengan menu utama belut di dekat gerai tersebut. Ada pilihan belut santan sampai pepes belut di situ. "Lumayan, sehari bisa habis 30 kg," ujarnya.
Ternyata, penggemar setia warung Flamboyan yang menyajikan belut ini adalah kaum pria. "Bapak-bapak suka minta belut digoreng setengah matang. Katanya bisa menambah kejantanan," kata Komalasari sambil tergelak. Duh, bapak-bapak ini.
+++++
Bukan hanya Mimpi
Kebanyakan orang pastilah geli memegang belut, sebangsa ikan yang tubuhnya panjang dan licin seperti ular. Namun, belut sudah menjadi bagian hidup Komalasari semenjak kecil. Maklumlah, keluarga Komalasari merupakan pengusaha dendeng belut.
Kendati demikian, awalnya Komalasari tidak berniat terjun dalam bisnis belut ini. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri, Komalasari bekerja sebagai tenaga pembukuan di sebuah perusahaan. "Waktu itu jarang sekali ada anak bisa sekolah sampai SMA," cetusnya. Namun, panggilan si belut nan licin membuat Komalasari tak bisa berpaling. Ia rela meninggalkan pekerjaannya dan kembali meneruskan usaha dendeng belut keluarganya tersebut.
Ternyata Komalasari tidak sekadar meneruskan usaha dendeng belut, melainkan mengembangkannya sehingga mencapai kapasitas produksi 100 kg belut segar dalam sehari. Bukan itu saja, Komalasari juga dianggap menjadi tokoh masyarakat setempat, lantaran usahanya melibatkan sekitar 190 petani penggarap di sekitarnya.
Selain itu, "Dari bisnis ini saya juga bisa bertemu artis-artis," ujar Komalasari polos. Sekitar tahun 2002, menurut Komalasari, dirinya ikut terlibat dalam pembuatan sinetron Bukan Hanya Mimpi. Tentu saja, bukan hanya mimpi pula kalau sekarang Komalasari bisa menangkap laba dari licinnya si belut.
Hendrika Y., Yuwono Triatmodjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar